Wednesday, March 28, 2012

Penjara Kesalehan Semu

“Bukan merupakan persoalan perpindahan dari kehidupan penuh dosa kepada kehidupan yang lurus, tetapi tentang menanggalkan keadilan lahiriah yang cukup untuk dipandang sebagai mukmin sejati dimata orang lain, namun sama sekali tidak memadai untuk menjawab kebutuhan bagi kesempurnaan spiritual”. Aktif melakukan jamaah sholat, menghadiri majlis ta’lim, terus melakukan qiyamul-lail, membaca qur’an secara rutin dan khatam berkali-kali dalam sebulan dan seabrek kealehan-kesalehan lahiriah yang dipandang sebagai mukmin sejati tidak otomatis bisa mengubah pola yang ada dan sama sekali tidak memadahi, bila itu tidak menjadikan diri mengalami suatu titik balik atas kehidupannya, suatu perubahan sejati, turning point, suatu tobat yang nyata, yang merupakan perubahan pola ucap, pola pikir, pola perilaku, dan pola kebiasaan kemudian membentuk karakter baru. Dibutuhkan konskwensi yang tinggi untuk melakukan pengujian tanpa kompromi terhadap kesadaran batin dan pengawalan ketat atas setiap pergerakan hati. Harus mampu menjadi mukmin yang bisa dipercaya dalam hal-hal kecil, seperti menggunakan waktu, melawan secara ketat dan keras atas setiap bentuk kesia-siaan, tidak sembarang acara TV ditonton dan hanya menonton acara yang memberi nilai tambah, ngobrol dan segala bentuk pemubadiran sekecil apapun, baik itu bentuk pemubadiran telepon, mata melihat TV, uang dan waktu. Sebab bila tidak bisa dipercaya dalam hal-hal yang kecil maka tidak akan bisa dipercaya dalam hal-hal yang besar. Bila seorang mukmin tidak bisa dipercaya dalam mengelola waktu, waktu yang dikaruniakan Allah kepadanya yang mestinya untuk bekerja, mengkaji buku, memahami qur’an dan kebenarannya, siapa yang mau memberi kelapangan dalam hal lainnya? Ketika ada waktu luang justru digunakan untuk ngobrol yang tidak jelas arahnya, lihat acara tv tidak dipilah, yang dilihat hanya merupakan kesenangan nafsu, baca qur’an hanya sebatas membaca namun tidak pernah dikaji, direnungi dan dimengerti apa yang dimau, tidak bisa dipercaya dalam menggunakan uang, harta, ketika punya harta begitu hoby jajan, merokok yang menyebabkan pemubadiran dan tidak mau nglinting sendiri, telepon sering tidak perhitungan. Mesti dihitung berapa rupiah untuk telepon, benarkah harus sebanyak ini, melebihi kebutuhan pokok saya, makan satu bulan cukup seratus ribu tetapi telpon 200 ribu, makan cukup 100 ribu tapi merokok tidak cukup 150 ribu. Bila dalam hal harta, uang dan kekayaan duniawi tidak bisa dipercaya siapakah yang mau mempercayakan kepada kita kekayaan rohani, kekhusyu’an, kesabaran, kelembutan, ketabahan, ketenangan, kedamaian dan kedewasaan serta kematangan pribadi? “Bukankah orang-orang yang mengenal Allah dengan baik sepakat bahwa ketika Anda sesat, tidak taat, baik dalam menggunakan waktu, tenaga, harta benda maka Allah menyerahkan segalanya kepada Anda dan membiarkan apa yang terjadi diantara anda dengan jiwa anda. Tapi ketika anda benar dalam menggunakan setiap yang dititipkan kepada anda, maka Allah akan selalu menuntun”. Kata Ibnul Qoyyim Al-Jauzie. Ketika kita ngobrol ulang tentang suatu kecelekaan misalnya, atau berita yang kita dengar dari TV, dengan semangat yang berapi-api tanpa mengawal ketat setiap kata yang keluar dari mulut dan tidak ada nilai positif yang bisa diambil untuk kehidupan sehari-hari, hanya sekadar mengisi waktu kosong dan terkadang menambah dan mengurangi, berarti kita sudah berada pada tindakan tidak taat. Saat tidak taat berarti yang menyertai antara nafsu atau setan atau kedua-duanya. Pada kondisi seperti ini ada 2 kemungkinan hasil. Pertama bisa jadi kita hanya masuk posisi pelaku sia-sia, tidak ada dosa tidak ada pahala, yang merupakan pilihan orang yang tidak bijak. Tidak bijak artinya bahwa bila orang membiarkan dirinya menjadi pelaku sia-sia berarti menghambat diri dari peluang untuk naik ke level manusia yang memperoleh predikat “Taqwa”. Sebab kata nabi seseorang tidak akan memasuki level Taqwa sampai seseorang itu meninggalkan tindakan yang tidak berdosa karena khawatir jatuh kedalam dosa sebab tindakan tersebut. Kedua terperangkap kepada jebakan setan yang menjadikan tindakan sia-sia itu sebagai umpan untuk menarik kedalam bentuk dusta, menambah dan mengurangi berita, suatu areal yang menjadi sumber besar bagi kebanyakan ghibah, memfitnah dan dosa-dosa lain. Kecenderungan kita yang setengah-setengah dan hanya melakukan biasa-biasa saja tanpa mengerti apa tujuannya perlu diubah. Kecenderungan demikian akan membuka pintu gerbang lebar bagi setiap bentuk penipuan, keterperangkapan, dan terjebak kedalam bentuk kepura-puraan, dan tidak mau serius untuk menjadi pelaku. Sementara kita sudah merasa melakukan kesalehan padahal hanya kamuflase belaka. Ini bentuk tertipu yang banyak melanda orang-orang beriman. Berada dijalan setan tetapi merasa dijalan Tuhan, karena memang secara kasat mata melakukan peribadatan. Berkata -tidak- terhadap setiap bentuk kesia-siaan harus menjadi tekad bulat, dan setiap ritual harus betul-betul dilihat apa manfaatnya agar tidak terjebak dalam bentuk kemunafikan berbaju kesalehan. Tidak merubah pola pikir dan tindakan berarti tidak ada artinya, apapun yang kita lakukan. Memastikan harta benda yang dititipkan Allah betul-betul tepat guna, yang artinya sebelum menggunkakan mesti diajukan pertanyaan, Anda taat kepada Allah, atau taat kepada diri anda sendiri? Nilai manfaat harus menjadi pilihan dalam membelanjakan harta, saya mau beli ini, apakah ini maunya Allah atau maunya nafsu saya sendiri?. Ini tekad bulat yang harus dimasuki, bukan hanya dimengerti dan dipahami. Hal ini – benar dalam menggunakan uang, waktu dan tenaga – dilakukan sebelum kebenaran dibukakan untuk kita. Tanpa penyucian hati dengan tindakan nyata (real) dari kelakuan kita sehari-hari, akan mustahil mengetahui makna yang sebenarnya dari firman Allah. Namun demikian harus dimengerti bahwa mukmin yang melakukan sia-sia, sombong, riya’, suka pamer, tidak bisa khusyu dalam sholat tidak berarti kehilangan iman, mungkin bisa saja kokoh dan yakin bahwa memang hanya Allah pencipta alam semesta ini namun keimanan itu tidak punya kekuatan untuk mengubah akhwal sehari-harinya kendati secara lahiriah dipandang sebagai beriman yang saleh. Namun sekali lagi kesalehan semacam ini tidak memadai. لايمسه إلا المطهرون (Tidak akan bisa menyentuh makna hakikat Qur’an kecuali orang-orang yang telah disucikan hatinya). Allah memastikan dengan firman-Nya bahwa tidak ada jalan lain untuk mampu memahami Qur’an-Nya kecuali membulatkan tekad, membersihkan cacat-cacat diri disetiap lekuk hati dengan terus mengupayakan diri terbebas dari penggunaan waktu, tenaga dan harta dari yang tidak bernilai. Allah menginginkan kita bahagia, kita untung, kita selamat, namun karena adanya watak yang ditaruh oleh-Nya didalam jiwa dan karunia bebas memilih membuat kita sulit untuk mau mengerti jalan keberuntungan yang disediakan Allah. Kasih Allah betul-betul melebihi kasih seorang Ibu terhadap anaknya, tetapi tidak banyak yang bisa memahami pola kasih Allah bekerja didalam diri kita. Bagaimana kasih Allah terhadap kita itu bisa dibuka? Dengan cara membuka, menyentuh makna sesungguhnya Al-Qur’an. Dan untuk mampu menyentuh makna Al-Qur’an harus diawali dengan mensucikan setiap akhwal yang bukan merupakan kehendak-Nya. Kegigihan kita untuk bertekad -tidak ada sia-sia bagiku- harus menjadi kepastian. Tanpa kebersihan diri dari sia-sia tertutup untuk mampu membuka Al-Qur’an, menguak Rahasia kasih Allah yang tak terbatas. Jangan sampai kita menjadi budak-budak nafsu yang dibungkus oleh kesalehan-kesalehan lahiriah, yang akhirnya justru menjerumuskan diri kedalam bentuk dosa-dosa baru seperti meremehkan orang yang nampaknya secara lahiriah tidak begitu gigih melakukan ibadah. Jangan terpancing untuk berkata, ”Orang itu kok nggak pernah mau mendatangi pengajian, tidak mau bermasyarakat, tidak mau ngumpul-ngumpul.” Bila ini yang terjadi, kita terjerumus dalam dua kerugian. Pertama, Kerugian tidak dapat upah dari Allah karena hanya secara kasat mata saja kita beribadah, mendatangi majlis ta’lim, namun tidak pernah ada gejolak untuk mengkritisi akhwal diri, kelakuan sehari-harinya, sehingga tidak pernah bisa mengerti dan menguak kebenaran yang sejati, yang dikehendaki Allah. Kedua; Menjadikan kesalehan lahiriah yang dilakukan sebagai perangkat untuk mengkritisi dan meremehkan orang lain, yang tidak melakukan seperti yang dilakukannya. Sering apa yang didengar dari pengajian justru menjadi alat untuk menciptakan dosa, kenapa bisa? Sebab nasehat yang didengar digunakan untuk membaca dan menilai orang lain bukan untuk mengoreksi cacat diri. Padahal orang lain yang nampaknya tidak banyak melakukan kesalehan lahiriah, bisa jadi dirumah terus membaca buku, menyesuaikan tingkah lakunya dengan pengetahuan yang dimengerti dan terus berjuang mati-matian untuk mengkritisi akhwal, nafsu dan egonya sendiri yang menjadi lawan dalam hidupnya dan bekerja keras untuk meluruskannya agar berada digaris yang dikehendaki Allah. Berjuang mengintegritaskan antara yang dimengerti dengan tingkah lakunya. Bila hanya banyak kegiatan, banyak ibadah namun tidak menjadikan diri mengerti apa yang dikehendakinya dan tidak menyatukan tingkah lakunya maka – kata Al-Ghozali – menjadi manusia-manusia tertipu. Bila kita tidak punya semangat untuk mengerti apa itu Islam (kepasrahan), apa yang diislamkan (dipasrahkan), dan tidak sadar bahwa hati dan tindakan mesti dikendalikan, ditaklukkan kemudian dipasrahkan kepada kehendak Allah, maka kita tidak bisa memperoleh serpihan-serpihan informasi yang paling berharga dalam hidup ini. Bukankah wahyu itu artinya membuka, yang artinya bila kita ingin membuka kebenaran yang dibawa nabi harus terlebih dahulu mengendalikan akhwal dan kekuatan dari nafsu dan ego dan memberikannya kepada Allah serta membuka diri bagi-Nya untuk berbuat apa saja. Mengerti sejarah hari-hari Nabi sangat penting, bagaimana Nabi menggunakan waktu, menangani kemarahan, emosi, bagaimana Nabi makan dan menggunakan harta. Bila akhwal tidak diselaraskan maka hanya kedangkalan ibadah yang didapat. Setiap yang mengantarkan kepada pergerakan untuk mengendalikan diri, akhwal dan seluruh tindakan dari kehidupan kita, lalu ditaklukkan dan diintegritaskan tindakan dengan kebenaran yang dimengerti, maka semuanya – kata Al-Ghozali – bernilai baik. Jangan sekali-kali meremehkan prestasi-prestasi kecil, seperti ketrampilan menangani keinginan dan kecanduan terhadap acara TV, kecanduan ngobrol, kecanduan chating di internet, kecanduan makan ngemil. Setiap kecanduan tidak ada yang baik kecuali kecanduan untuk meraup kebenaran. Prestasi-prestasi kecil itulah yang mengantarkan manusia kepada prestasi-prestasi besar. Mustahil mampu menoreh prestasi besar tanpa mau menoreh prestasi-prestasi kecil yang sering dianggap remeh. Pencapaian kebahagiaan bertemu dengan Allah diakhirat nanti hanya dapat diraih dengan pencapaian cinta kepada-Nya dan kedekatan dengan-Nya dikehidupan ini. Tetapi cinta kepada Allah tidak datang begitu saja, namun hanya diperoleh melalui pengetahuan dan ilmu, sementara pengetahuan hanya bisa digapai melalui perenungan, tafakkur yang dilakukan secara terus-menerus. Kedekatan hanya bisa diperoleh melalui cinta dan ingat (dzikir) yang tidak ada putus-putusnya. Kesinambungan dzikir dan fikir hanya bisa dilakukan dengan memangkas kegandrungan kepada kehidupan duniawi dari hati, dan cinta tidak bisa dipangkas kecuali dengan meninggalkan keinginan dari kesenangan dan kelezatan duniawi dalam batas-batas yang diperbolehkan Allah demi menjaga kesehatan hidup. Tetapi penanggalan keinginan semacam ini mustahil dapat dilakukan kecuali dengan mengendalikan nafsu yang diawali dari hal-hal kecil dari kehidupan kita. Akhwal, tindakan dan kelakuan benar-benar harus dibaca secara cermat untuk memperkecil segala bentuk ketergelinciran dan kecolongan. Bila dalam hal kecil seperti cara membangunkan anak, menasehati orang, tidak bisa dengan cara yang dikehendaki Allah, tidak bisa dengan lembut dan hanya bisa dengan kasar dan cenderung dengan marah dan emosi, maka sangat kecil terbuka peluang untuk bisa terselamatkan dari dosa-dosa yang begitu banyak yang bersumber dari nafsu dan syahwat. Ketidakmampuan dalam hal-hal yang kecil ini akan mempersulit diri untuk bisa mengekang nafsu yang lebih besar. Tidak mampu mengekang nafsu berarti tidak bisa mencapai kesucian (kemampuan menahan diri, emosi) kebajikan, kesalehan dan penaklukan diri sendiri, yakni tindakan-tindakan mulia yang membawa seseorang dekat kepada Allah. Pemikiran kritis tentang praktek kesalehan yang dilakukan dalam kesehariannya mesti terus dilakukan, apa tujuan yang saya lakukan ini, apa manfaatnya, apa dampaknya kepada pikiran dan tingkah laku. Bila tidak kritis maka kita akan terjebak dalam bentuk taklid murni sementara merasa benar dan saleh. Pikiran kritis diarahkan agar setiap yang dilakukan tidak ngelantur tanpa arah sehingga ibadah bisa punya arti mengubah hidup menjadi lebih baik, waktu semakin berarti dan membawa dekat kepada kesuksesan. Ini merupakan bagian dari memanfaatkan akal yang dianugerahkan Allah. Harta benda efektif, terarah kegunaannya. Semua yang dimengerti betul-betul dimanfaatkan untuk membaca tingkah lakunya disetiap saat. Bila kesalehan lahiriah, pengajian, baca Al-qur’an, dan keaktifan dalam mengikuti majlis ta’lim, tidak menjadikan sipelakunya lebih bisa menyelesaikan konflik batinnya, menyelesaikan emosinya, persoalan-persoalan dalam batinnya sendiri, pusing sama istri, sama bos, sama anak, tetangga, galau dengan masa depannya, tidak bisa memperlembut pergerakan emosinya, kata-katanya dan nyaris tingkah-lakunya tidak terbaca, tidak semakin matang dan dewasa dalam mengelola konflik, itu menunjukkan tidak adanya pengertian yang diperoleh dari kesalehan tersebut atau mengerti namun pengetahuan yang didapat tidak menggerakkan hati untuk membaca dirinya sendiri, membaca akhwal tindakannya sehari-hari. Kita harus mampu memasuki jalan setapak yang sempit yang telah ditandai oleh orang-orang benar sebelum kita dan menjadikannya besar serta lebar bagi kita dan orang-orang disekitar kita, anak, istri dan tetangga. Jalan setapak dan sempit itu adalah upaya keras dan berat kita dalam membaca tindakan kita sehari-hari. Mulai dari pola ucap, apakah pola ucapanku dalam merespon cuaca panas, dingin, kejadian di orang lain dan diri itu sudah seperti pola ucap Nabi? Cara memberitahu, berkata, menasehati, berkomentar, menyikapi masalah, apakah Nabi juga seperti ini? Menggunakan telinga, apakah pemimpin kita Nabi Muhammad senang kepada kita yang suka mendengarkan seperti ini? Apakah ini kebenaran yang bisa membawa kita semakin bisa mengendalikan mulut atau justru membuat mulut semakin pinter membaca dan mengoreksi kekurangan orang lain? Apakah ini sesuatu yang sia-sia (laghwun) yang mengeraskan hati, membuang-buang waktu? Kemudian harta, apakah setiap rupiah yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan? Atau digunakan untuk telepon yang sebenarnya tidak begitu penting, atau penting hanya menurut nafsu kita yang gemar cerita lewat telepon. Juga waktu, apakah betul-betul efektif dikendalikan agar bisa membawa diri semakin dewasa dan matang?. Kegigihan dan peluh keringat serta kepayahan dalam membaca diri dan mengendalikannya dan kemudian bekerja keras menaklukkannya itulah yang secara tahap demi tahap meretas jalan sempit dan kemudian membuka jalan besar dan lebar bagi kita sendiri khususnya dan orang-orang dekat kita. Ketika kita telah mampu meretas jalan sempit dan menjadikan jalan lebar maka secara perlahan kita ditarik kepada realitas Tuhan, kedamaian, kemampuan menangani masalah, konflik yang muncul dan tidak mudah terpancing situasi dan kondisi. Ingat setiap tetes bensin yang kita gunakan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah. Setiap tindakan terus diawasi dan diteropong oleh pengawasan Allah. Muslim yang tulus akan terus bekerja keras disetiap saat untuk meruhanikan keimanannya. Keimanan-keimanan yang masih pada taraf kerangka dan masih mati harus dihidupkan disetiap areal kehidupannya. Mulai dari cara bertindak, berbicara, bertingkah, memecahkan keributan pikirannya dan segala model persoalan hidupnya. Bila tingkah laku tidak diruhanikan dan hanya mengalir pada watak bawaannya maka iman menjadi kering dan mengambang, tidak mempunyai nilai tambah bagi kehidupannya. Banyak yang dipanggil namun hanya sedikit yang dipilih. Bahwa bagaimana kebenaran hidup, keimanan, meruhani diseluruh areal kelakuan kita, itu merupakan suatu yang mungkin dan terbuka lebar bagi semuanya, tetapi jalan setapak diawal perjalanannya menyatukan ilmu dan tindakan yang didahului oleh jalan penyucian dan jalan pencerahan itu cukup sulit dan seringkali panjang yang menjadikan kebanyakan kehilangan kesabaran dan gugur sebelum menjadi mukmin terpilih. Sehingga mayoritas hanya berada pada level iman namun tidak hidup, artinya sikap dan tingkah laku kesehariannya, mulai dari cara berpikir, berucap, bersikap, menggunakan uang, waktu dan tenaga, kesenangan, hoby tetap bertumpu pada adat dan kesenangan nafsu yang manusiawi. Padahal Allah berjanji akan mengucurkan karunia-Nya untuk membantu bila hamba serius menghidupkan imannya. Dan Allah tidak menolak cinta seseorang yang mencurahkan segala kekuatan yang ada padanya. Perubahan yang terjadi didalam perjalanan hidup kita lebih sebagai campur tangan Allah, namun diawali dan ditentukan oleh upaya-upaya manusiawi kita sendiri. Kita betul-betul diberi pilihan untuk menentukan nasib kita sendiri. Allah siap membantu setiap saat, kapan saja seorang hamba berseru kepada-Nya. Allah sangat bijak, bagaimana cara dan kapan saatnya seorang hamba layak dan harus ditolong. Allah betul-betul bijak, artinya tidak sembarang mengabulkan juga tidak sembarang menolong. Dimana dan kapan saatnya, itu dilakukan demi kebaikan manusia itu sendiri. Ada saatnya Allah membiarkan do’a kita terkatung-katung, kenapa? Karena Allah ingin memastikan, menguji sampai sejauh mana keseriusan kita? Hanya orang yang jeli terhadap kehendak Allah dalam setiap tingkah lakunya sehari-hari yang bisa mengerti bagaimana kasih Allah bekerja. Ilmu haq adalah ilmu yang mampu menyingkap sdsuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi keraguan dan kemungkinan salah atau keliru. Begitu juga ibadah yang haq adalah yang mampu menjadi perangkat untuk membaca kelakuannya dan merombaknya. Suatu ilmu dan ibadah yang tidak menjadikan pikir dan tindakan berubah dan tidak mampu menghantarkan diri mampu mendeteksi kesalahan dan keraguan sekecil apapun, itu namanya – kata Nabi – hanya mendapatkan kepayahan. Untuk mampu keluar dari bentuk ibadah yang hanya mendapat letih- perlu perjuangan, perjuangan agar ibadah tidak hanya sekedar ilusi saja. Kalau lagi berjuang keras memperbaiki diri, bertobat, jangan ingat orang lain, jangan ingat tetangga, tetapi ingat kebusukan kita sendiri. Bila pikiran kita terpencar mengingat kekurangan orang lain, kita akan merasakan berat untuk merubah diri dikarenakan pikiran terforsir, tidak terfokus. Bila tidak fokus maka ibarat aliran air kecil yang dialirkan melalui hulu-hulu yang banyak akhirnya tidak sampai kesawah. Insan yang kokoh pribadinya tidak banyak terpengaruh oleh hinaan, celaan dan apa kata orang, dalam proses memperbaiki dirinya. Dia terus bergerak melaju meraup kebenaran, menyatukannya kedalam tindakan. Juga tidak sibuk menjawab orang yang mempertanyakan jalan dan tindakan hidupnya sebab akan menyita banyak waktu dan belum tentu mereka paham. Tidak pula sedih dengan cemoohan dan celaan serta gunjingan orang. Apa kata orang tidak pula akan membantu dikala kita jatuh, biasanya hanya sebatas komentar-komentar murahan. Kokoh dan mengkarang dari segala ocehan itu tanda pribadi yang berhasil merubah diri dan membawanya keareal kebenaran yang tidak banyak bisa diprediksi orang lain. Diri yang kukuh juga menjauhkan diri dari segala bentuk kesibukan berkomentar atas tindakan dan kelakuan orang lain. Tidak terpancing untuk membicarakan apa yang terjadi pada orang lain, yang banyak membuat dosa, dan permasalahan semakin runyam. Dia betul-betul akan bertindak untuk orang lain bila dilihat akan berdampak positif, hanya komentar saja, semua orang bisa, namun hanya orang-orang pilihan yang memilih diam atau berkata benar, jujur dan menjadikan dirinya sebagai solusi. Kebenaran bukanlah karena rangkaian dalil-dalil dan argumentasi serta struktur kalimat yang indah. Sebaliknya kebenaran adalah merupakan cahaya yang dimasukkan Allah kedalam hati seorang mukmin, dan cahaya tersebut merupakan anak kunci sebagian besar pengetahuan tentang Allah. Maka barangsiapa yang menyangka bahwa kebenaran hanya bisa dibuka melalui penyusunan bukti dan dalil-dalil, dia berarti telah menyempitkan rahmat Allah Yang Maha Luas. Banyak orang yang pandai, berdalil namun tingkah lakunya justru lebih tidak benar daripada orang yang tidak begitu banyak mengenal dalil namun berupaya keras untuk meluruskan tingkah laku sehari-harinya. Jangan menyempitkan diri sendiri karena kurang banyak mengenal dalil kemudian merasa rendah diri bahwa dirinya tidak mungkin menjadi pelaku kebenaran, tertuntun oleh Allah. Ingat sabda Saikh AlHarits AlMuhasibi, “Barang siapa memperbaiki batinnya dengan bertaqarrub dan ikhlas, maka Allah akan menghiasi lahirnya dengan kesungguhan dan mengikuti sunnah.” Tidak berarti stok dalil banyak, selalu membawa diri dekat dengan Allah, membawa diri semakin benar dalam tindak dan kelakukan walaupun peluang itu sama-sama terbuka lebar. Hanya orang-orang yang terus menyelidiki hatinya, menjelajahi pikirannya dan mencari cacat dibalik lekuk-lekuk hati yang kecil dan sempit dan terus setiap saat dari detik, menit, jam, hari terus memperbaiki diri, yang dipastikan mendapat pancaran Nur Allah. Manusia semacam ini yang lahirnya dihiasi oleh kesungguhan meluruskan sholat, sedekah, tutur kata, amarah, bertingkah, menggunakan tenaga, waktu dan harta. Kepandaian berdalil justru sering menjadi alat bagi setan untuk memperdaya siempunya dengan kesombongan, pamer dan tinggi hati yang mengantarkan pribadinya menjadi pemarah dan menang sendiri yang sulit untuk dinasehati, jauh lebih rendah dari orang yang bodoh akan dalil. ومن يرد الله ان يهديه يشرح صدره للإسلام (ألأنعام 125) “Seseorang yang oleh Allah dikehendaki untuk dituntun maka dilapangkan hatinya, dilegowokan hatinya untuk tunduk /kepada kebenaran (Q.S ). Dilapangkan, dilegowokan artinya hatinya begitu rela, tidak keberatan untuk menundukkan segala tingkah laku, emosi dan ego untuk nurut kepada Allah, kepada kebenaran. Emosi yang tidak stabil, tunduk menjadi stabil, amarah yang tidak terkendali jadi terkendali dan terarah, emosi yang sering cepat naik berubah menjadi lambat naik dan lebih senang menahan diri dulu sebelum emosi menguasai, bicara yang meledak-ledak jadi santai dan tenang, hati yang cepat sedih, cepat senang menjadi lebih terkendali, tidak cepat susah dan tidak cepat pula gembira berlebih. Ketenangan menghiasi dirinya, hidupnya santai, rilek namun tepat dan optimal dalam menggunakan waktu dan tenaga serta harta. Selalu ada jalan baginya untuk menghindarkan diri dari membuang waktu untuk sia-sia. Mengubah kebiasaan selalu ada jalan, tidak ada kamus baginya sesuatu itu mustahil bila itu yang dikehendaki Allah agar dirinya tunduk. Lapang, legowo artinya dirinya dengan lentur mau dengan kesadaran yang penuh bahwa ini yang dikehendaki Tuhanku dan aku memilih yang dikehendaki Allahku, aku mencintai, merindukan Allahku dan aku memastikan diriku memilih yang dikehendaki yang kucintai, yang kurindukan. Kendati rintangan dan kesulitan pasti menghadang dihadapan, tetapi karena adanya Nur, cahaya Allah yang menuntun dirinya, berani menanggung segala bentuk resiko yang akan muncul demi cintanya kepada Robnya. Bersedia meretas jalan Tuhan, jalan setapak yang membuka jalan lebar, bersungguh-sungguh untuk mengekang keinginan-keinginannya, betul-betul meluangkan waktunya untuk membimbing dirinya menuju bentuk hidup yang berbeda, hidup dalam kebenaran, hidup dalam Tuhan dan mengesampingkan segala sikap dan pola pikir duniawi, serta menempatkan dirinya untuk mau tunduk dan mendengarkan nasehat siapa saja, yang mempunyai ketinggian spiritual sehingga mampu menangkap cahaya mukasyafah (penyingkapan) sampai akhirnya dirinya menjadi terbiasa dan menguasai dirinya secara baik. Termasuk tanda sikap yang dilegowokan hatinya untuk tunduk kepada kebenaran tanpa syarat, adalah sebagaimana sabda Ali R.A, “خذ الحكمه ولو من فم البهائم” mau mengenali kebenaran dulu baru melihat siapa yang berbicara. Jika ucapan itu kebenaran, menerimanya meskipun sipembicara itu tidak benar dalam masalah lain. Orang yang hatinya teruntun Nur Allah akan berusaha mengambil kebenaran sekalipun keluar dari ucapan mulut seorang pendosa. Tidak selalu emas itu berkumpul dengan emas. Adakalanya bercampur dengan tanah. Seorang ahli emas akan merasa merugi bila tidak mau mengambil emas dari antara tanah-tanah liat. Jika hati belum dilegowokan oleh Allah, kefanatikan golongan dan paham, ego masih tinggi, kesombongan mengikat, tinggi hati menguasai, akan mengabaikan kebenaran yang – karena diketahui disampaikan – oleh seorang yang bukan sealirannya, seagamanya, sepahamnya, atau karena pernah berbuat salah. Bila demikian kita akan mengabaikan sekian banyak ayat-ayat AlQur’an dan Hadits. Mendengar ceramah ketika tahu yang bicara si A, tidak mau, sinis dan menampakkan diri lebih tinggi dengan ucapannya,”Ah itu sama saja dengan yang itu” “Ah itu anaknya si A, yang bukan Seperti Pak Kiai B”. Ini betul merupakan kesalahan fatal bagi seorang mukmin, tetapi kondisi demikian banyak diidap oleh orang mukmin. Jika kita menerima semua petuah dari seorang yang kita pandang tinggi padahal tidak semuanya benar dan mengabaikan sikap kritis terhadapnya karena rasa hormat berlebihan tetapi meremehkan, menyepelekan petuah dari penceramah yang dianggap rendahan dan tidak bermanfaat padahal jauh lebih berguna dan benar adanya dengan terbukti dari pribadinya yang matang, melejit karyanya dalam kancah perekonomian serta terus nampak ada inovasi yang tiada henti. Dengan demikian kita hanya mengenal kebenaran karena orangnya dan berarti kita telah menutup banyak pintu kebenaran, pintu nur Allah, dan ini yang dikatakan Al-Ghozali merupakan puncak kesesatan. Jangan sampai kita buta karena terlanjur terlalu hormat, terlalu menyanjung satu ulama/kiai tanpa adanya sikap proporsional sehingga kita jatuh kedalam bentuk syirik, penuhanan kepada manusia sementara tidak menyadarinya. Kita harus siap menerima bahwa orang yang kita kagumi juga manusia biasa yang tidak semua tindakan dan sikapnya benar. Jangan sampai terjebak kedalam perangkap setan sehingga berlebihan dalam menghormat yang akhirnya membutakan akal nurani. Menyamaratakan bahwa semua kata Pak Kiai itu benar, termasuk bentuk penuhanan yang samar. Padahal tidak ada greget untuk meneladani sikapnya kecuali hanya sebatas menyanjung dalam bibir. Penerimaan secara menyeluruh dan penolakan secara menyeluruh itu menunjukkan kefanatikan buta dan sakitnya nurani.

No comments:

Post a Comment